Sejarah konsep civil society dan masyarakat madani
Civil Society
Gagasan awal tentang civil society (masyarakat sipil) sesungguhnya telah dimulai sejak masa Yunani kuno. Aristotels (398-322 SM) mendorong konsepsi berkehidupan (bernegara) dalam semangat komunitas politik. Maksudnya, setiap warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonom-politik dan pengambian keputusan. Istilah ini juga dipergunakan untuk menggambarkan suatu masyarakat politik dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum.
Konsep masyarakat sipil mencapai puncak diskursus paska zaman pencerahan ketika Adam Smith dengan karyanya The Wealth of Nation, yang mendorong perkembangan kewirausahaan Inggris yang dalam prosesnya terbentur kepada pembatasan oleh pemerintah karena adanya merkantilisme Negara dimana pemerintah terlibaat langsung dalam setiap praktik ekonomi sehingga menyulitkan para usahawan mengembangkan usahanya. Para usahawan kemudian menuntut adanya ruang kebebasan dalam mengembangkan usaha mereka dan pemerintah tidak ikut campur dalam praktik ekonomi. Ruang kebebasan ini yang menjadi pemisah kekuasan (ekonomi-politik) negara yang absolut ke tangan masyarakat umum. Dengan demikian tiap individu memiliki akses yang sama untuk menentukan nasibnya sendiri, menyingkirkan tradisi aristrokatik yang selama ini berlangsung sesuai kehendak hati penguasa.
Sementara pada era kontemporer, konsep civil society lebih cenderung diasosiasikan pada kelompok atau lembaga nonpemerintah (non-governmental organization-NGO) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengambil posisi sebagai penyeimbang di luar sistem pemerintahan yang membntu mendorong agar Negara selalu menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan, integritas, anti-korupsi, demokratis, pembangunan yang ekologis, manusiawi, dan menjunjung tinggi semangat HAM.
Masyarakat Madani
Masyarakat madani pada hakikatnya adalah reformasi terhadap segala praktik yang merendahkan nilai-nilai universal manusia. Gagasan tentang masyarakat Madani sesungguhnya berakar pada praktek kehidupan bermasyarakat yang dilakukan semasa Nabi Muhammad SAW hidup bersama generasi awal umat Islam. Dalam berbagai riwayat diterangkan bahwa semasa tinggal di Yatsrib --belakangan berubah menjadi Madinah-- Nabi Muhammad berhasil menciptakan sebuah tata kehidupan yang harmonis dan beradab, serta menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan hak antar sesama warganya. Bukti paling terang adalah dengan diterapkannya Piagam Madinah, sebuah konsensus bersama antar umat dalam latar agama, suku, dan kebudayaan yang berbeda.
Contoh nyata dalam sejarah perkembangan masyarakat muslim tersebut kemudian coba diadaptasi ke dalam praktek kehidupan modern. Bagaimana setiap manusia yang hidup dalam kelompok mampu saling berbagi ruang, saling tolong menolong, bertoleransi, menjunjung pluralisme, demokrasi, dan keadilan sosial. Hal ini sejalan dengan kata Madani yang berakar kata Madinah (salah satu kota penting umat Islam) yang dapat dimaknai: kota; kota yang bercahaya; negara; masyarakat beradab yang taat pada hukum.
Sementara itu, masyarakat madani atau civil society di era modern ini merupakan reformasi terhadap pemerintahan yang despotic dan tiranik. Masyarkat madani dalam wacana kontemporer merupakan reformasi terhadap pemerintahan yang menjalankan kekuasaannya yang mengabaikan harkat dan martabat manusia.
Atas dasar itu masyarakat madani pada hakekatnya adalah sebuah masyarakat yang berperadaban dengan disemangati oleh nilai-nilai ketuhanan untuk kebaikan bersama.
Prinsip-prinsip masyarakat madani dan penjelasan ringkasnya
Untuk mencapai masyarakat yang beradab dan sejahtera itu maka masyarakat madani harus bisa menegakan prinsip-prinsip yang menjadi cirri dari masyarakat madani
Keadilan
Keadilan yang dimaksud adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara hak dan kewajiban setiap warga dan negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu menegakan keadilan merupakan keharusan yang bersifat fitrah yang harus ditegakan oleh setiap individu sebagai pengejawantahan dari perjanjia primordial manusia yang mengakui Allah sebagai tuhannya
Supremasi Hukum
Penghargaan terhadap supermasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan, keadilan harus diposisikan secara netral, artinya tidak ada pengecualian untuk memperoleh kebenaran di atas hokum, hal ini di dasari Q.S Al-Maidah : 8
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ ٨
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Maidah:8)
Sudah dapat dipastikan dari sejarah bahwa kehancuran bangsa-bangsa di masa lalu karena ketidak adilan dalam penegakan hokum. Sehingga keadilan ini menjadi prinsip yang utama dalam mewujudkan masyarakat yang madani.
Egalitarianisme (persamaan)
Egalitarianisme berasal dari bahasa Perancis egal yang berarti sama. Yang di maksud sama dalam pengertian ini adalah kecenderungan cara berpikir bahwa penikmatan atas kesetaraan dari beberapa macam premis umum, misalkan bahwa seseorang harus diperlakukan dan mendapatkan perlakuan yang sama pada dimensi seperti agama, politik, ekonomi, sosial, atau budaya. tentang kesetaraan ini dalam QS Al-Hujurat : 13, menjelaskan sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” QS. Al-Hujurat : 13
Dalam pengertian Egalitas ini mempertahankan bahwa pada hakikatnya semua orang manusia adalah sama dalam status nilai atau moral secara fundamental. Sebagian besar, pengertian ini merupakan respon terhadap pelanggaran pembangunan statis dan memiliki dua definisi yang berbeda, dalam bahasa Inggris modern dapat didefinisikan secara baik sebagai doktrin politik yang menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan secara setara dan memiliki hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan sipil yang sama atau dalam pengertian filsafat sosial penganjuran penghapusan kesenjangan ekonomi antara orang-orang yang kaya dan yang miskin atau adanya semacam desentralisasi kekuasaan. Dalam hal demikian ini dianggap oleh beberapa pihak sebagai keadaan alami dari sebuah masyarakat. Kesetaran ini mempunyai beberapa aspek yaitu dalam aspek sosial, aspek politik, dan aspek ekonomi
Plularisme
Pluralisme adalah sikap atau faham Paham kemajemukan yang tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tapi harus disertai sikap yang tulus untuk menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai bernilai positif. Sekaligus merupakan rahmat Tuhan kepada manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. Pluralisme adalah suatu perangkat untuk mendorong pengayaan budaya bangsa. Karena itu budaya Indonesia atau keindonesiaan, tidak lain hasil interaksi yang kaya (resourceful) dan dinamis antara para pelaku budaya yang beraneka ragam itu dalam suatu melting pot yang efektif.
pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, dan terdiri atas berbagai suku serta agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai kebaikan negatif (negative good) hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanatisicm at bay).
Dalam QS. Al-An’am : 108, diisyaratkan tentang pluralisme
وَلَا تَسُبُّواْ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّواْ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا بِغَيۡرِ عِلۡمٖۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمۡ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرۡجِعُهُمۡ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٠٨
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. QS. Al-An’am: 108
Hal ini menandakan bahwa pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.
Pengawasan Sosial
Pada dasarnya manusia secara harfiah baik dan suci, maka kejahatan yang dilakukan bukan karena inheren di dalam dirinya akan tetapi lebih disebabkan oleh factor-faktor luar yang mempengaruhinya. Karena itu, agar manusia dan warga tetap berada dalam kebaikan sebagaimana fitrahnya diperlukan adanya pengawasan sosial, hal ini dimaksudkan setidaknya dalam hal saling mengingatkan dan saling menasehati dalam hal kebaikan sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-‘Ashr : 1-3
وَٱلۡعَصۡرِ ١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
“1. Demi masa, 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” QS. Al-‘Ashr : 1-3
Pengawasan sosial baik secara individu maupun lembaga merupakan suatu keharusan dalam usaha pembentukan masyarakat beradab dan sejahtera (masyarkat madani).
Peran yang dapat dilakukan oleh umat beragama dalam mewujudkan masyarakat madani
Masyakarat beradab dapat juga di konseptualisasi sebagai masyarkat madani, yang lebih diartikan kepada situasi dan kondisi masyarakat yang adil, terbuka, demokratis, sejahtera, dengan kesadaran mengamalkan ajaran agama dalam segala aspek kehidupan sosial.
Dalam hal mewujudkan masyarakat madani yang berlandaskan ajaran agama dan oleh sebab di Indonesia bukan hanya satu agama yang diperbolehkan dianut oleh warga Negaranya, sehingga keberagaman keyakinan beragama pun perlu dijamin oleh aturan dan undang-undang serta kerukunan antar umat beragma pun perlu dijaga oleh umatnya itu sendiri. Dalam hal ini peranan umat beragama sangat penting untuk mewujudkan masyarakat madani yang dapat dilakukan misalnya dengan cara:
⦁ Menumbuhkan saling pengertian antar sesame umat beragama
⦁ Melakukan studi keagamaan dengan tujuan menghayati ajaran agama masing-masing
⦁ Menumbuhkan upaya penumbuhan sikap demokratis, pluralis, dan toleran melalui pendidikan
⦁ Berusaha bersama-sama untuk mewujudkan masyarakat madani
Dan tentunya masih banyak usaha-usaha lain yang bisa dilakukan oleh kita sebagai warga Negara yang menghendaki terwujudnya masyarakat madani yang berujung kepada baldatun toyibatun wa rabbun gofur (QS Saba’ [34]: 15).
Beberapa poin penting hak asasi manusia dalam Islam beserta ayat al-Qur’an yang berkaitan dengannya
Islam lebih awal jika dibandingkan dengan konsep atau ajaran lainnya. Dengan kata lain, Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM. Ajaran Islam tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur`an dan Hadis yang merupakan sumber ajaran normatif, juga terdapat dalam praktik kehidupan umat Islam. Selain Hak Asasi Manusia (HAM) ada Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang menjadi penyeimbang dan penyelaras guna mencapai kemaslahatan umat.
Dan yang perlu diperhatikan adalah inti dari HAM yaitu egalitarianisme, demokrasi, persamaan hak di depan hukum, dan keadilan sosial, ekonomi, dan budaya. Aspek aspek tersebut menunjukan bahwa perbedaan dan keragaman memiliki arti yang luas. Perbedaan, misalnya dalam pandangan Islam, adalah kehendak Allah karena itu segala upaya yang memaksa agar semua manusia itu seragam (satu agama, satu bangsa, satu warna kulit, satu opini politik) adalah penyangkalan terhadap sunnatullah itu.
Dalam al-Qur'an QS, Yunus [10]: 99,
وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَأٓمَنَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ كُلُّهُمۡ جَمِيعًاۚ أَفَأَنتَ تُكۡرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُواْ مُؤۡمِنِينَ ٩٩
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”.(QS, Yunus [10]: 99.
Kitab tafsir yang sangat dihormati, Tafsir Jalalain, membuat tekanan sentral yang lebih memperjelas ayat ini dengan mengatakan, "hendak kau paksa jugakah orang untuk melakukan apa yang Allah sendiri tidak ingin melakukannya terhadap mereka?" , hal ini menegaskan bahwa usaha untuk menyamakan semua perbedaan semua umat manusia adalah sebuah tindakan pelanggaran HAM. Ini juga menunjukkan bahwa dengan perbedaan manusia didorong untuk saling menolong dan bekerjasama. Karena itu, sikap menghargai atas perbedaan di antara manusia adalah sikap yang harus dibiasakan sejak kecil dan ditumbuh-kembangkan secara menyeluruh dalam ajaran Islam sejak dahulu.
إرسال تعليق